21 Januari, 2011

Tak Ada yang Sampai ke Hulman Sebelum Melalui Eliakim

Seorang penyair tersohor, Taufik Ismail pernah mengatakan; “Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat.” Keduanya merasa hanya dirinya yang paling dipercaya. Di dalam pertemuan resmi biasanya berdiam diri. Tetapi di luar forum, seolah-olah dialah yang paling dapat dipercaya.
Tanpa referensi dari penjilat, jangan harap mendapatkan fasilitas yang menguntungkan. Apabila keberadaan para penjilat tidak dapat dimanajemeni dengan baik, suatu daerah akan dipenuhi oleh oknum penghancur. Demokrasi akhirnya menjadi demokrasi beku yang semakin rapuh.
Jika beberapa waktu lalu, ia begitu pandai menyenangkan, kini tampil sebagai pribadi yang menyebalkan. Kini pribadi yang menyebalkan itu menjadi keresahan banyak orang di Pematangsiantar, terutama di lingkungan Pemko Pematangsiantar.
Simaklah kisah seorang pejabat di Pemko Pematangsiantar berikut ini:
Sore itu, akhir November 2010 lalu, Siantar diguyur hujan deras. Ruangan ber-ac yang dingin di sebuah café di Jalan Sutomo bertambah dingin dengan guyuran hujan di luar. Masih dengan memakai baju dinas, seorang pejabat Pemko Siantar, sebut saja namanya Alimin, masuk ke kafe itu dengan tergopoh-gopoh. Dia lalu mengambil tempat duduk bersama kami sembari melap wajahnya yang berkeringat. Raut wajahnya terlihat sangat panas meski suhu ruangan ketika itu dingin. Pantas jika keringat terus bercucuran di wajahnya.
“Saya benar-benar kesal. Apa wewenang dia sehingga segala sesuatu harus melalui tangannya. Ini birokrasi apa sehingga semuanya harus melalui dia?” ucapnya dengan nada tinggi memulai pembicaraan. Awalnya kami, termasuk Tabloid Siantar Man, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun setelah dia melanjutkan omongannya dan menjelaskan semuanya, kami baru mengerti.
Dia yang dimaksudkan oleh pejabat Pemko ini adalah Eliakim Simanjuntak, orang dekat Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus. Pejabat Pemko ini ternyata baru saja datang ke rumah dinas walikota di Jalan MH Sitorus dan tak diperkenankan menemui sang walikota oleh Eliakim dan cukup segala sesuatunya disampaikan ke Eliakim.
Kekesalan Alimin ini sebenarnya bukan cerita baru lagi di lingkungan Pemko Pematangsiantar. Beberapa pejabat dan pegawai Pemko Pematangsiantar yang ditemui Tabloid Siantar Man mengakui hal yang sama. Menurut mereka, sejak Hulman menjabat Walikota Pematangsiantar, segala urusan harus melalui Eliakim. “Dan ini sudah sangat meresahkan karena sebenarnya Eliakim tak punya wewenang untuk melakukan ini,” ujar seorang pegawai Pemko Siantar yang tak mau disebut namanya. Dan kini, dengan posisinya itu Eliakim menjadi pusat pembicaraan di mana-mana di kota ini.
Seorang ketua partai politik di Siantar menguatkan tudingan miring terhadap Eliakim. “Dengan sombongnya dia mengatakan tidak ada seorangpun yang sampai ke Hulman kalau bukan melalui saya,” kata ketua parpol ini yang juga tak mau disebut namanya.
Tudingan miring yang dialamatkan kepada Eliakim pun terus merebak dari beragam kalangan. Sepak terjang Eliakim pun terus dipantau oleh berbagai kalangan. Disebutkan, penentuan jabatan di lingkungan Pemko Pematangsiantar pun harus melalui Eliakim. “Wewenangnya melebihi Baperjakat (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan),” ucap seorang sumber.
Pelantikan 81 pejabat Pemko Pematangsiantar, Jumat (14/1) lalu, juga dituding sebagian besar merupakan penentuan yang dilakukan oleh Eliakim. Disebutkan sebagian besar pejabat yang dilantik tersebut membayar sejumlah uang kepada Eliakim. “Makanya dari 81 orang yang dilantik ini terlihat hampir semuanya merupakan orangnya Hulman. Hampir tidak ada orang Koni (wakil walikota) karena sebagian besar melalui Eliakim,” ucap seorang narasumber yang tak bersedia disebut namanya.
Atau lihatlah bagaimana wewenang seorang Eliakim begitu besar sehingga mampu memberikan rekomendasi memasukkan pegawai di kecamatan, seperti katabelecce pada jaman Orde Baru dulu. Surat tersebut ditujukan kepada Camat Siantar Barat dengan isi diberitahukan kepada saudara Camat Siantar Barat agar menempatkan nama XXXXX, alamat Jalan XXXXX sebagai penjaga kamar mandi di Pasar Horas. Surat ini tertanggal 18/11/2010 tertera ditandatangani atas nama Eliakim dengan Acc walikota.
Ketika perihal terbitnya surat tersebut dikonfirmasi melalui sambungan telepon kepada Eliakim, ia tidak membantah. Menurutnya dengan surat itu ia hanya berusaha menolong orang lain yang meminta pertolongan kepadanya untuk dijadikan sebagai penjaga kamar mandi.
“Saya hanya mencari peluang membantu orang lain yang meminta tolong sama saya. Tidak ada apa-apanya itu. Kecuali kalau kita melakukan kesalahan yang fatal. Lagian, kan tidak terealisasi- nya surat saya itu di lapangan. Mungkin yang mengungkit itu iri sama saya,” jawabnya.
Tak hanya penentuan jabatan, penentuan pemenang proyek pun kabarnya harus melalui pria berkaca mata ini. Beberapa waktu lalu dia dituding terlibat pembagian jatah proyek di Dinas Pendidikan (Disdik) berbiaya Rp 15,4 miliar. Informasinya proyek bidang pendidikan Rp 15,4 miliar ini terdiri dari DAK (Dana Alokasi Khusus) yang dianggarkan di APBD Kota Pematangsiantar tahun 2010 sebesar Rp 14 miliar. Selanjutnya, dana pendampingnya ditampung di P APBD tahun 2010 mencapai Rp 1,4 miliar.

Proyek ini direncanakan untuk pembangunan 21 unit gedung laboratorium SD dan pembangunan 24 ruang kelas SMP. Namun, hingga tahun anggaran 2010 akan berakhir, Disdik belum juga melakukan proses tender. Sehingga ada dugaan jika proyek itu ‘dipaksakan’ untuk dikerjakan
sebelum akhir tahun, dan ini memunculkan adanya tudingan jika Eliakim telah membagikan paket pengerjaan pada sejumlah rekanan (pemborong). Selain itu, kemungkinan pengerjaan tidak akan tercapai sampai karena disebut-sebut Panitia Pembuat Komitmen (PPK) mengundurkan diri. Adanya rencana pembagian paket proyek ini menyebabkan keberatan dari para pejabat di Disdik Pematangsiantar. Pasalnya, proyek itu sempat sudah dibagikan pada sejumlah rekanan saat Wali Kota Pematangsiantar dijabat RE Siahaan.
Menanggapi sepak terjang Eliakim ini, beberapa kalangan meminta agar Hulman sebagai walikota segera menegur Eliakim agar kepercayaan masyarakat kepada Hulman tidak hilang. “Hulman harus segera merespon keresahan masyarakat dan para pegawai Pemko Siantar terhadap sepak terjang Eliakim ini yang sudah sangat kebablasan. Saya yakin Hulman sudah tahu mengenai ini,” ucap Partogi Siahaan, seorang tokoh masyarakat.
Hal senada disampaikan Kristian Silitonga, Ketua Lembaga Studi Otonomi Politik Siantar (SoPo). Dia mengatakan sebagai masyarakat yang peduli dengan terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih, masyarakat Siantar tidak lantas berdiam dan mengamini kondisi tersebut. "Secara politik, tugas Eliakim sudah selesai dalam hal merebut kekuasaan. Saat ini Hulman sudah menjadi Walikota yang harus memiliki kebijakan," katanya.
Kristian melanjutkan sebagai Walikota yang memimpin Kota Pematangsiantar, Hulman Sitorus bukan lagi milik kelompok tertentu, melainkan milik seluruh elemen masyarakat Siantar. Untuk itu, katanya, untuk berjalannya pemerintahan yang baik, walikota selayaknya melakukan konsolidasi birokrasi, bukan seperti kuat dugaan selalu mendengarkan pembisik-pembisik yang nota bene bukan dari kalangan birokrasi. "Untuk menjalankan birokrasi, kan sudah ada tatanan yang mengaturnya. Ngapain harus dicampuri orang-orang dari luar?" sebut Kristian.
Menanggapi tudingan miring kepadanya, Eliakim santai menjawabnya. Dia membantah semua tuduhan kepadanya. “Buktikan kalau saya yang mengatur jabatan dan buktikan juga kalau saya mengatur proyek. Saya siap dihadapkan kepada siapa saja yang menuduh saya,” ucapnya.
Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus yang coba dikonfirmasi mengenai sepak terjang Eliakim ini tak berhasil ditemui. Uniknya, untuk menemui Hulman untuk melakukan konfirmasi harus melalui Eliakim. Wajar saja jika konfimasi tak berhasil dilakukan. (tim)

Eliakim dan Parasit Kekuasaan

Demokrasi ideal yang dicita-citakan Max Weber, sosiolog kondang, tampaknya "masih jauh panggang dari api". Fakta di lapangan belum menunjukkan hadirnya tipe birokrasi Weberian yang bercirikan mampu bekerja secara efisien, efektif, rasional, profesional dan berorientasi publik.
Tak ubahnya dalam tingkatan lokal seperti di Kota Pematangsiantar, demokrasi yang diharapkan oleh rakyat terabaikan dengan pemusatan kekuasaan di tangan walikota tanpa mampu dilawan oleh birokrasi di bawahnya maupun oleh rakyat sendiri. Seperti sabda pandita ratu yang mengikut apa kata walikota.
Pola pemusatan kekuasaan ini di Pematangsiantar tampak jelas dalam periode lima tahun lalu dimana birokrasi praktis tak bergerak maju. Periode lima tahun ke depan dengan kekuasaan dipegang oleh Walikota Hulman Sitorus, pola serupa dikhawatirkan akan kembali terjadi. Bahkan sebagian mengatakan akan lebih buruk lagi mengingat kehadiran orang dekat walikota yang merusak tatanan pemerintahan.
Adalah nama Eliakim Simanjuntak yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang dikhawatirkan menjadi parasit kekuasaan. Siapa yang tak kenal Eliakim, orang paling dekat dengan Hulman Sitorus?
Kabarnya, semua laporan pejabat di Pematangsiantar harus melalui Eliakim sebelum sampai ke Hulman. Lebih jauh, penentuan pejabat di lingkungan Pemko Pematangsiantar juga ditentukan Eliakim. Sejujurnya, ini tak lagi hanya sekadar kabar atau isu namun juga fakta yang terjadi. Beberapa pejabat Pemko Siantar yang dihubungi Tabloid Siantar Man mengakui hal tersebut. Menurut mereka, segala sesuatu harus melalui Eliakim.
Tak jelas, kenapa Hulman sangat percaya kepada Eliakim dan membiarkan praktek seperti itu terjadi dalam birokrasi di Pematangsiantar. Padahal, Eliakim bukan seorang pegawai negeri sipil atau pejabat yang berwenang melakukan hal ini dalam tatanan birokrasi.
Meski Eliakim selalu membantah, dan memang parasit kekuasaan selalu bersikap idealis dan bermuka seribu, sejatinya praktek seperti ini sangat negatif. Parasit kekuasaan seperti Eliakim ini memperlemah kualitas birokrasi karena absennya sumber daya manusia (SDM) yang kapabel dan pola rekrutmen yang asal-asalan dan koruptif. Konsekuensinya, rentan melahirkan penyakit birokrasi yang gagap dan lamban dalam melayani kepentingan masyarakat seperti layaknya seorang ibu tua yang mengidap obesitas yang kesulitan untuk bergerak lincah.
Anehnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi yang direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sangat sulit bisa berjalan di Siantar. DPRD Pematangsiantar sebagai lembaga legislatif tak jelas kinerjanya sehingga sulit diharapkan mengontrol jalannya pemerintahan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Eliakim bisa lenggang kangkung menjalankan misinya dan bahkan seringkali justru mendikte legislatif. .



Di kelembagaan hukum pun, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Warisan Orde Baru dengan Muspida plusnya membuat polisi dan jaksa tak berani menyentuh walikota.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi humanis (Scimecca, 2007), mengutip Novri Susan, dosen sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi konstruktif dengan konstitusi pemerintahan. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri uang rakyat, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin, dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat. Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa bekerja ideal.
Seperti disampaikan seorang aktivis LSM di Siantar, parasit kekuasaan harus dibasmi. Harus ada gerak bersama semua elemen masyarakat agar Hulman Sitorus sebagai walikota membuang parasit yang menghambat cita-citanya membangun Siantar, jika memang dia punya cita-cita.
Demikian pula politisi di DPRD dan aparat hukum yang jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan parasit kekuasaan. Selesaikan jual beli jabatan dan jual beli proyek yang merugikan cita- cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari buruh, tani, hingga perempuan. (FT)

11 Mei, 2009

BPK Perwakilan Medan Benarkan Rp5,9 Miliar Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan

Kasus Bantuan Sosial Pemko Siantar 2007

SIANTAR-SK: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Medan mengakui ada dana sebesar Rp5,9 miliar dari Rp16 miliar bantuan sosial tahun 2007 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Pemko Pematangsiantar. Hal ini dibenarkan BPK Perwakilan Medan saat menerima kunjungan DPRD Kota Pematangsiantar, Kamis (8/5). Anggota DPRD Kota Pematangsiantar, Muslimin Akbar, SHi, Minggu (10/5), mengatakan hasil investigasi BPK Perwakilan Medan ini menjadi salah satu poin yang dipertanyakan DPRD. Menurutnya, dalam pertemuan tersebut, DPRD diterima Kepala BPK Perwakilan Medan, Widodo, didampingi Kepala Divisi Pemeriksaan Daerah Pematangsiantar, Yusna Dewi.
“Audit investigasinya dilakukan berkerjasama dengan Informatika Teknologi (IT) Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), hal ini sesuai keterangan dari Yusna Dewi,” jelas Muslimin.
Dia juga mengatakan, BPK secara kelembagaan mendukung pengungkapan kasus dimaksud dan bersedia memberikan data kepada pihak-pihak yang akan memproses secara hukum hasil audit bantuan sosial tersebut.
Dalam pertemuan tersebut juga disampaikan masalahan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pematangsiantar tahun 2009 melalui Peraturan Walikota (Perwa).
Menurut Muslimin, DPRD Pematangsiantar juga menyampaikan surat masalah Perwa APBD 2009 tersebut kepada BPK Perwakilan Medan. Anggota Komisi IV DPRD tersebut menambahkan, diberikan juga surat dari Gubernur Sumatera Utara, H Syamsul Arifin, mengenai persetujuan penetapan APBD tersebut. Dimana disebutkan, agar mengacu pada pagu anggaran tahun sebelumnya. Dikatakannya, dalam APBD tahun 2009 tersebut tidak sesuai dengan pagu tahun sebelumnya.
“Ada perubahan terhadap beberapa pos mata anggaran, ini terjadi dalam angka kolektifnya ditemukan perbedaan,” ujarnya.
Muslimin juga menambahkan, DPRD juga menyampaikan jika masih banyak anggota dewan yang belum menerima buku mengenai perwa APBD tahun 2009 tersebut.
Mengangapi hal ini, menurutnya BPK Perwakilan Medakn akan melakukan investigasi dan menindaklanjutinya langsung ke Kota Pematangsiantar.
Sebelumnya DPRD Pematangsiantar dipimpin ketuanya Lingga Napitupulu melakukan kunjungan ke BPK Perwakilan Medan untuk menyampaikan perihal penetapan Perwa APBD Tahun 2009. Dalam kunjunganya, secara terpisah DPRD juga bertemu dengan Wadir Reskrim Polda Sumut, AKBP Edi S Tambunan untuk mempertanyakan perkembangan kasus dugaan manipulasi 19 CPNS Tahun 2005, terkait pemeriksaan terhadap Walikota Ir RE Siahaan yang ditetapkan sebagai tersangka. (jansen)




17 Maret, 2009

Dugaan Korupsi Dana Sosial Pemko Pematangsiantar 2007 Rp16,8 Miliar

DPRD Layangkan Surat ke KPK

SIANTAR-SK: Belum adanya titik terang dalam penanganan kasus dugaan korupsi dana Bina Sosial Pemko Pematangsiantar tahun 2007 sebesar Rp16,8 miliar, ditindaklanjuti pimpinan DPRD dengan melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Salah seorang sumber di DPRD Pematangsiantar yang tidak mau disebutkan namanya kepada Sinar Keadilan mengatakan ini dilakukan setelah adanya surat dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumatera Utara, pertanggal 19 Februari 2009.
Surat Nomor : S-803/PW.02/5/2009 merupakan jawaban atas surat dari Ketua DPRD Pematangsiantar Nomor : 900/227/DPRD/II/2009 tanggal 12 Februari 2009, perihal hasil audit dari BPKP atas penyaluran dana Bina Sosial anggaran tahun 2007 tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Kepala BPKP Perwakilan Sumut, Sudjono dijelaskan jika audit yang dilakukan atas permintaan Kepolisian Resor Pematangsiantar Nomor : K/262/VI/2008/Reskrim tanggal 24 Juni 2008.
Dimana laporan hasil penugasan Nomor : R-3534/PW.02/5/2008 tanggal 24 September telah disampaikan kepada Polresta Pematangsiantar.
Surat tersebut juga menjelaskan adanya permintaan dari Pimpinan DPRD Pematangsiantar tersebut harus mendapatkan ijin dari Kapolres setempat.
Sumber tersebut menambahkan surat ini yang ditindaklanjuti DPRD dengan mengirimkan surat dari BPKP kepada KPK, sekaligus mempertanyakan proses penanganan kasus yang dilaporkan dua Anggota DPRD Muslimin Akbar, dan Alosius Sihite ke Polresta Pematangsiantar sekitar November 2007 yang lalu.
Di tempat terpisah Kapolresta Pematangsiantar, AKBP Andreas Kusmaedi yang dikonfirmasi mengenai penanganan kasus tersebut melalui layanan Short Message Service (SMS) mengatakan sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebelumnya berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan tahun Pemko Pematangsiantar tahun anggaran 2007, tanggal 25 November 2008, disebutkan pengelolaan kas pemko tidak tertib dan terdapat penyalahgunaan belanja bantuan sosial Rp5,9 miliar yang merugikan keuangan daerah.
Dalam pemeriksaan BPK atas pengelolaan kas pada Bendahara Sekretariat Daerah menunjukkan adanya kelemahan seperti penyerahan dana dilakukan tanpa didahului penyerahan surat pertanggungjawaban. Selanjutnya cek yang diterima bendahara tidak seluruhnya dipindahbukukan ke rekening koran, dan masih terdapat sebagian cek yang langsung dicairkan di bank tanpa proses pemindahbukuan. Bendahara pengeluaran dinilai tidak mengadministrasikan bukti-bukti pertanggungjawaban pengeluaran pada Sekretariat Daerah dengan tertib sesuai bagian yang ada, dan tidak disusun secara kronologis.
Berdasarkan hasil investigasi BPKRI atas indikasi penyimpangan dana APBD belanja bantuan sosial 2007, sesuai surat tugas Nomor : 10/ST/VII-XVIII/03/2008 tanggal 31 Maret 2008, diketahui anggaran bantuan yang dikelola Bagian Sosial Pemko Pematangsiantar sebesar Rp16,8 miliar terjadi penyimpangan yang dilakukan terkait penggunaan APBD. Yang mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp5,9 miliar lebih.(jansen)




10 Ribu Surat Suara DPR RI Bermasalah di Siantar


Terdapat Titik Merah pada Kolom Partai Demokrat

SIANTAR-SK: Ditemukan lebih dari 10 ribu surat suara untuk DPR RI di Pematangsiantar yang bermasalah dari jumlah 204.941 lembar surat suara yang ada. Masalah terjadi dengan ditemukannya tanda titik berwarna merah pada kotak pilihan Partai Demokrat persisnya di dekat tulisan angka 31.
Informasi yang dihimpun dari petugas pelipat surat suara di Sekretariat KPU Pematangsiantar Jalan Porsea, Jumat (6/3), menyampaikan jumlah surat suara bertitik merah tersebut ditemukan sebanyak 20 kotak. Pada setiap kotak terdapat 500 lembar surat suara, sehingga, jika dikalikan, maka mencapai 10 ribu surat suara bermasalah. Perlu diketahui, warna tinta untuk mencontreng pada Pemilu 9 April nanti adalah warna merah.
Sementara itu anggota KPU Kota Pematangsiantar, Batara Manurung, membenarkan saat pelipatan surat suara yang dilakukan anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara) se-Kota Pematangsiantar, ditemukan 10.700 lebih surat suara bermasalah untuk DPR-RI.
Dari 10.700 surat suara bermasalah, 10 ribu diantaranya terdapat titik merah pada salah satu kolom pilihan partai politik tertentu. Sayangnya, anggota KPU yang satu ini enggan menyebut kolom pilihan partai yang mana, ditemukan titik merah dimaksud.
Namun dia menilai keberadaan titik merah di surat suara dapat mengganggu keabsahan suara pemilih, pada saat perhitungan suara tanggal 9 April 2009 mendatang.
Koordinator Pelipatan Kertas Suara KPU tersebut berpendapat hal ini mengganggu, karena dengan titik merah pada salah satu kolom pilihan salah satu partai politik, dikhawatirkan masyarakat akan menduga KPU mengarahkan suara ke partai tersebut.
Dikatakannya surat suara bermasalah seperti itu dapat membuat suara menjadi tidak sah pada saat perhitungan suara dilakukan. Bahkan dikhawatirkan surat suara bermasalah tersebut bisa memunculkan perdebatan di TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Sedangkan 700 lembar surat suara lainnya, Batara menjelaskan bermasalah karena terdapat bercak hitam yang menutupi lambang partai, nomor urut caleg maupun nama caleg dari partai tertentu. Sedangkan untuk surat suara yang robek, sampai pelipatan kemarin tidak ditemukan.
Dia menambahkan untuk mengantisipasi surat suara bermasalah tersebut, KPU Kota Pematangsiantar telah berkoordinasi dengan KPU Provinsi Sumatera Utara, di Medan.
“Hasilnya, untuk sementara, surat suara bertitik merah dan terdapat bercak hitam, telah disisihkan dan tidak dilipat oleh petugas pelipat suara,” ujar Batara.
Selanjutnya KPU Pematangsiantar akan menggelar rapat pleno, guna membahas surat suara bermasalah dan mencari jalan keluarnya. Batara berpendapat, setelah pleno dilakukan pihaknya akan mengusulkan kepada KPU Pusat di Jakarta, supaya mengganti surat suara bermasalah tersebut. Begitu surat suara pengganti untuk DPR RI tiba, agar tidak disalahgunakan, maka surat suara bermasalah itu akan dimusnahkan.
Direncanakan pelipatan kertas suara untuk DPR-RI selesai Jumat (6/3), dan dilanjutkan hari ini, Sabtu (7/3) untuk pelipatan surat suara DPD-RI. (jansen)



Anak Dieksploitasi Sebarkan Kartu dan Gambar Caleg



SIANTAR-SK: Berbagai cara untuk mempromosikan diri dilakukan para Calon Legislatif (Caleg). Namun tindakan kali ini tergolong berani karena seorang anak berusia 12 tahun dimanfaatkan untuk menyebarkan brosur tulisan dan gambar caleg dari Partai Hanura yakni caleg DPRD Sumut Andar Bernard Silaban dan Caleg DPRD Kota Pematangsiantar Agus Tampublon, SPd.
Anak tersebut terlihat membagi-bagikan brosus kepada setiap orang yang sedang duduk-duduk di kompleks Taman Bunga, Jalan Merdeka, Kamis (5/3). Saat ditanya sejumlah wartawan anak tersebut mengaku bernama Ivan Sihombing dan disuruh seorang pria dewasa membagikan selebaran dimaksud dengan upah Rp5000.
“Katanya kalau ini semua habis dibagikan maka saya akan diberikan uang,” ujar anak tersebut dengan polos dan menambahkan tidak mengenal siapa yang menyuruhnya.
Dalam surat berjudul Surat Cinta Kepada Saudaraku Warga Kota Pematangsiantar berisi ajakan untuk menentukan wakilnya pada pemilu tanggal 9 April 2009 mendatang, bukan karena pemberian uang, materi atau bentuk sumbangan. Selain itu terdapat gambar, dan kartu nama Caleg.
Sementara itu Andar yang ditemui di Lobi Parbina Hotel, membantah telah memanfaatkan anak kecil untuk menyebarkan selebaran tersebut. Dia juga membenarkan surat tersebut merupakan hasil karya tulisannya dan telah disiarkan di beberapa stasiun radio. Dikatakannya melihat tulisan ini beberapa rekannya sesama Caleg DPRD Tingkat II di Siantar-Simalungun tertarik, dan meminta agar fotonya masing-masing disatukan dengan selebaran tersebut.
“Kalau yang kepunyaan saya tersendiri gambarnya, dan ini secara pribadi ikut membagikannya kepada masuyarakat tetapi tidak ada mempergunakan tenaga anak-anak,” ujarnya.
Di tempat terpisah Agus yang coba dihubungi melalui telepon selulernya tidak bersedia mengangkatnya, meskipun terdengar nada sambung. Saat dihubungi kedua kalinya, handphone Agus tidak aktif lagi.
Ketua Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) Kota Pematangsiantar, Darwan Saragih saat diminta tanggapannya menilai hal ini merupakan bentuk pelanggaran jika terbukti melibatkan anak di bawah umur dalam hal kampanye. Dia juga menambahkan dalam waktu dekat ini pihaknya akan melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti atas dilibatkannya anak-anak membagi-bagikan selebaran dan gambar caleg. (jansen)




14 Pelajar SD Dijadikan Budak Seks Penjaga Kantin

Kak Seto Desak Pelaku Segera Ditangkap

SIANTAR-SK: Ketua Komite Nasional(Komnas) Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mendesak aparat penegak hukum segera menangkap pelaku perbuatan cabul terhadap 14 pelajar SD Negeri 122xxx di Kelurahan Siopat, Suhu Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematangsiantar. Hal ini disampaikannya saat dihubungi wartawan, Kamis (5/3).
Seto menilai tindakan Albert Turnip yang disebut ke-14 pelajar sebagai pelaku, merupakan serangkaian kebohongan yang dilakukan dengan cara membujuk atau merayu anak untuk berbuat cabul. Menurutnya perbuatan pelaku tersebut termasuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar pasal 82 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
“Perbuatan pelaku ini bisa diancam hukuman 15 tahun penjara,” ujar pria yang biasa disapa dengan Kak Seto.
Sebagai bentuk kepedulian hukum terhadap anak, Kak Seto mendesak Polresta Pematangsiantar segera menangkap pelaku. Dia juga meminta pihak kepolisian untuk melakukan pengembangan kasus tersebut. Dikatakannya pengembangan ini perlu dilakukan karena bukan tidak mungkin yang menjadi korban bukan hanya 14 pelajar tersebut.
Sedangkan terhadap sekolah, polisi dan pers, dia menyarankan agar tidak mempublikasikan identitas korban.
Sementara itu Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan Komisi Perlinungan Anak Indonesia (KPAI) Sumatera Utara, Muslim Harahap SH, mendesak polisi untuk menangkap pelaku secepatnya. Muslim juga meminta polisi segera mencantumkan pelaku sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Ini bukan kasus main-main karena menyangkut masa depan anak-anak, jadi polisi harus maksimal bekerja,” tandasnya.
Sedangkan upaya pemulihan trauma para pelajar yang menjadi korban cabul pedagang kantin tersebut, KPAI Sumut meminta pihak sekolah supaya bertanggungjawab. Dia berpendapat sekolah harus melakukan pencerahan psikologis dan mental para pelajar, akibat kejadian yang tersebut.
“Pihak sekolah harus bekerjasama dengan tim medis karena yang terpenting dilakukan saat ini adalah upaya pemulihan dan pemahaman psikis dan mental anak-anak,” sebut Muslim.
Ditambahkannya dengan adanya kejadian ini, KPAI Sumatera Utara dalam waktu singkat, akan membentuk tim investigasi dan segera turun ke Kota Pematangsiantar untuk melakukan penyelidikan.
Seperti pemberitaan sebelumnya, peristiwa cabul ini terungkap setelah seorang siswa perempuan melihat temannya, pelajar pria sedang onani di salah satu ruangan kelas. Hal ini lalu disampaikan kepada salah seorang guru. Dari pengembangan yang dilakukan, terungkap, sebanyak 14 pelajar yang menjadi korban pelaku. Dimana para pelajar diajari onani, dengan terlebih dahulu disuguhi film porno. Selanjutnya alat kelamin mereka (pelajar-red) diremas-remas pelaku. Dampak dari perbuatan pelaku ini, membuat sejumlah pelajar keranjingan onani. Dari pengakuan pelajar, aksi cabul dan belajar onani ini telah berlangsung sejak satu tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas V SD. (jansen)







3 Pejabat Simalungun Diadili

Kasus CPNS Gate 2005 Kabupaten Simalungun

SIMALUNGUN-SK: Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Simalungun menggelar sidang pertama atas dugaan KKN pada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pemkab Simalungun formasi tahun 2005, Rabu (4/3). Tiga terdakwa dihadirkan jaksa yakni Mantan Sekda Pemkab Simalungun Drs. Sariaman Saragih (58), Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Simalungun, Jamasdin Purba, SH (49), serta Kabid di BKD Simalungun, Robert Purba,SH.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Josron Malau, SH didampingi Lukas Aleksander Sinuraya, SH saat membacakan dakwaan mengatakan ketiganya telah melakukan kejahatan nepotisme dengan sengaja mencantumkan empat nama anggota keluarganya sebagai pemenang, pada seleksi penerimaan CPNS formasi 2005 yang tidak sesuai dengan hasil ranking nilai tertinggi yang digelar 28 Februari 2006 lalu.
Dakwaan yang dibacakan di hadapan Majelis Hakim, Binsar Gultom, disebutkan, peristiwa percobaan nepotisme dilakukan, ketika Pemkab Simalungun menerima hasil ujian CPNS dari Pusat Komputerisasi (Puskom) Universitas Sumatera Utara (USU). Setelah diperiksa, pada tanggal 15 Maret 2006, hasil pemeriksaan sesuai ranking Puskom tersebut diserahkan ke BKD Pemkab Simalungun. Pada tanggal 19 Maret 2006, para terdakwa bertemu di kantor BKD Simalungun dengan maksud penyisipan beberapa nama, untuk selanjutnya diumumkan. Adapun nama tersebut sesuai dakwaan tidak lain adalah anak, keponakan serta adik kandung ke tiga terdakwa.
Diketahui, terdakwa Sariaman Saragih selaku ketua panitia, mengajukan nama anaknya Immanuel Saragih serta seorang Keponakannya Rodearni Anita. Sedangkan Jamasdin Purba yang pada kesempatan tersebut menjabat sebagai sekretaris panitia, langsung mengajukan nama anaknya Fitriani Dewi Purba. Sementara Robet yang saat itu menjabat anggota panitia penerimaan CPNS, mengajukan adik kandungnya sendiri yang bernama Rohdian Purba.
Menurut JPU, para terdakwa merekayasa hasil ranking, dengan sengaja melampirkan ke empat nama tersebut. Setelah nama disisipkan, selanjutnya terdakwa Sariaman selaku panitia penanggung jawab penerimaan CPNS menyerahkan nama-nama tersebut kepada Bupati Simalungun untuk selanjutnya diterbitkan atau diumumkan sesuai surat keputusan (SK) Bupati.
Puncaknya, tanggal 20 Maret 2006 lalu, panitia mengumumkan hasil ujian CPNS. Namun, pengumaman tersebut mendapat protes dari para peserta yang mengikuti ujian CPNS. Sebab banyak ditemukan nama dan nomor peserta ujian berbeda. Artinya ada 48 nama tidak sesuai rangking. Sehingga melalui Keputusan Bupati Simalungun, pengumuman CPNS dirubah dengan alasan perbaikan. Pada tanggal 22 Maret 2006 hasil perbaikan nama pemenang CPNS kembali diumumkan. Sedangkan nama ke 48 yang termasuk didalamnya empat nama adik, keponakan dan adik kandung ketiga terdakwa. Lagi-lagi, peserta tidak terima dan menganggap pengumuman sudah diduga hasil rekayasa panitia. Dan seperti dakwaan, masalah tersebut hangat melalui pemberitaan di media cetak dan elektronika.
Sehingga kepolisian mengambil kebijakan dengan memeriksa para panitia serta nama-nama yang diumumkan dan dibandingkan sesuai nama hasil pemeriksaan puskom USU. Akhirnya ditemukanlah perbedaan yang signifikan. Akhirnya, Bupati mengambil kebijakan untuk mengulang pengumuman sesuai hasil Puskom USU pada tanggal 5 April 2006.
Atas perbuatan tersebut, JPU menjerat ketiga terdakwa dengan pasal 263 (1) Yo pasal 55 Yo pasal 53 KUHPidana tentang percobaan membuat surat palsu. Sayangnya, ketiga terdakwa saat akan dikonfirmasi usai digelarnya persidangan memilih diam dan mengarahkan pada kuasa hukumnya Batahi Simanjuntak, SH dan Herman Rumahorbo, SH. (duan)







Pernyataan Kajari Siantar Nelson Sembiring Layak Dipertanyakan

Tindaklanjut Bantuan Guru Sekolah Minggu Rp202 Juta

SIANTAR-SK: Pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Pematangsiantar, Nelson Sembiring, SH bahwa dugaan penyimpangan bantuan guru sekolah minggu sebesar Rp202 juta tidak dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan (dik), dengan alasan sudah dibayarkan, layak dipertanyakan. Pernyataan ini disampaikan Kuasa Hukum Asosiasi Pemerhati Pewarta Indonesia (APPI) Juhong Siahaan, SH sebagai pihak yang melaporkan dugaan penyimpangan dana yang dialokasikan di Bagian Bina Sosial Pemko Pematangsiantar, anggaran tahun 2008 tersebut.
Juhong kepada Sinar Keadilan, Rabu (4/3), menyayangkan sikap Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematangsiantar, yang tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Menurutnya ada indikasi korupsi yang terjadi, meskipun dana dimaksud terlambat dibayarkan.
”Sekalipun sudah dibayarkan melewati batas tahun anggaran 2008, apakah ini bukan tindak pidana yang harus ditindaklanjuti sesuai pengaduan yang disampaikan kepada Kejari,” ujarnya.
Juhong menilai ini tidak relevan jika ada istilah aparat penegak hukum, yang ‘memaklumi’ keterlambatan pembayaran yang dilakukan Pemko Pematangsiantar. Dikatakannya ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, terkait pembayaran bantuan yang terlambat. Menurutnya ini ibarat pencuri yang ketahuan, namun karena ketahuan maka tindakannya mencuri dapat dimaklumi. Dia menilai ini keanehan unsur dugaan korupsi seperti bantuan guru sekolah minggu justru dimaklumi, karena keterlambatan membayar. Juhong menambahkan keterlambatan dimaksud tidak dapat ditolerir, karena hak dari si penerima untuk mendapatkan bantuan tersebut.
“Kalau permasalahan ini tidak menjadi gejolak dan muncul di mass media kemungkinan tidak akan dibayarkan. Ada asumsi bantuan ini akan didiamkan, apakah mungkin laporan Kejari ke Kejati Sumut memaklumi adanya keterlambatan mencairkan dana,” tandasnya. Dia menambahkan akan menyurati kembali mempertanyakan tindaklanjut yang dilakukan.
Sedangkan Ketua APPI Siantar Simalungun, Arsyad Siregar, mempertanyakan keterangan dari salah seorang pendeta yang mengaku telah menerima tanggal 9 Februari 2009. Dia menegaskan keterangan ini jauh berbeda dengan pernyataan yang bersangkutan kepada pihaknya melalui surat pernyataan bermaterai dan stempel gereja, tanggal 11 Pebruari belum ada menerima dana tersebut. Menurutnya keterangan ini juga dilampirkan sesuai dengan pengaduan yang disampaikan.
Ketua Komisi II DPRD Kota Pematangsiantar, Dra Grace Cristiane di tempat terpisah menilai pernyataan Kajari seolah-olah mewakili warga gereja. Dalam pemahamannya, Kajari seharusnya mengerti peraturan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Apa bisa permohonan mendadak diproses, karena adanya penambahan nama-nama guru gereja,” jelasnya.
Grace mempertanyakan bagaimana dengan kasus lain yang terindikasi korupsi, kenapa tidak turun menanganinya. Dia mencontohkan seperti dugaan korupsi bantuan sosial tahun 2007 sebesar Rp5,9 miliar, yang tidak direspon. Menurutnya istilah 5 di tingkat Kejaksaan Tinggi, 3 di Kejaksaan Daerah, dan 1 di Kejaksaan Persiapan, sepertinya tidak berjalan di Pematangsiantar dalam mengungkapkan dugaan kasus korupsi. Dikatakannya fenomena yang terjadi ini ibarat sinetron, karena masalah bantuan guru sekolah minggu langsung ditindaklanjuti.
Di lain pihak, Grace menilai gereja seharusnya memberi contoh taat peraturan. Dia berpendapat apakah gereja atau oknum-oknum di dalamnya coba mengeksploitasikannya.
“Kajari harus menunjukkan bukti permohonan tambahan dari sekian ratus, guna memenuhi azas transparansi. Supaya gereja tidak diperalat, dan umat Kristen tidak dipermalukan,” paparnya.
Dia menambahkan jika pemko benar memproses penambahan penerima bantuan, maka menjadi temuan Kejari. Dimana pemko mengeluarkan dana mendahului APBD, sehingga dipertanyakan sumbernya. Menurutnya ini nyata-nyata melanggar premendagri Nomor 13 Tahun 2007, PP Nomor 58 Tahun 2005, dan PP Nomor 17 Tahun 2003.
“Inilaih kasus hukum baru lagi, yang diungkap tidak sengaja, seharusnya jangan asal bicara dalam hal ini,” katanya mengakhiri. (jansen)




Dugaan Penyimpangan Bantuan Guru Sekolah Minggu Tahun 2008

Kejari Tidak Lanjutkan Penyidikan, Alasan Sudah Dibayarkan

SIANTAR-SK: Belum lama ini, sejumlah media lokal di Siantar Simalungun, dan bahkan media Sumatera Utara, mengungkap nasib guru sekolah minggu di sejumlah gereja, yang belum menerima dana bantuan sosial dari Bagian Bina Sosial Sekretariat Pemko Pematangsiantar.
Pemberitaan ini muncul setelah Ketua DPC Parta Damai Sejahtera (PDS) Kota Pematangsiantar, Otto M Sidabutar, yang merasa prihatin dengan nasib guru sekolah minggu mengundang sejumlah wartawan dan bercerita tentang dana bantuan itu belum direalisasikan Bagian Bina Sosial. Meskipun dananya ada dialokasikan di APBD 2008 sebesar Rp 202 juta.
Ini ditindak lanjuti LSM Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia (APPI) Siantar Simalungun, melaporkan adanya dugaan tersebut kepada Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Dalam pengaduannya, APPI melampirkan Surat perintah membayar langsung (LS), Nomor : 900/83/SPM/XII/2008 untuk keperluan belanja tak langsung kepada guru sekolah minggu sebanyak 143 orang. Dengan ketentuan sebesar Rp 75 ribu, per bulan selama satu tahun. Ini sesuai dengan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) Nomor : 900/832/SPM/SPP/Sosial/XII/2008 tanggal 1 Desember 2008, atas nama Kasubag Agama Bagian Bina Sosial Ibnu Mutalib, melalui rekening Simpedes BRI Nomor 33-21-5458. Termasuk surat pernyataan dari gereja HKBP Resort Martoba atas nama Pdt Mangara Tua Siagian, SMTh, dan GPDI Kemenangan melalui Pdt K Pasaribu, STh. Selain itu dilampirkan, surat pengantar Sekretaris Daerah (Sekda) tentang pembayaran bantuan tersebut.
Kejaksaan Negeri (Kajari) Pematangsiantar, Nelson Sembiring, SH, Selasa (3/3) mengundang sejumlah wartawan untuk bertemu langsung dengan sejumlah pimpinan gereja yang telah diminta keterangan oleh jaksa, diaula lantai II kantor Kejari. Nelson mengatakan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial untuk guru sekolah minggu, telah diselidiki oleh jaksa atas adanya laporan yang diterima dan pemberitaan di mass media.
Dia juga mengaku telah menggelar penyelidikan sejak tanggal 25 Pebruari 2009, untuk mengusut dana bantuan sosial tersebut. Dimana Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Pematangsiantar, Heryansyah SH melakukan pemeriksaan terhadap Kabag Bina Sosial Risfani Sidauruk dan Bendahara Bagian Bina Sosial, Iyan Nasution.
Selanjutnya, pemeriksaanpun berkembang, dengan memanggil dan memeriksa 13 pimpinan gereja di Kota Pematangsiantar.
Ditambahkannya, pihak kejaksaan tidak bisa melanjutkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan (dik). Alasannya, sesuai hasil penyelidikan, diketahui dana bantuan sosial untuk guru sekolah minggu itu telah dibayarkan kepada 13 pimpinan gereja. Adapun dana bantuan yang telah dibayar itu, nilainya bervariasi diterima oleh masing masing pimpinan gereja, dengan jumlah keseluruhan sesuai dengan nilai yang tertera didalam anggaran APBD 2008.
Uniknya, Kajari Pematangsiantar mengakui, pencairan dana bantuan untuk guru sekolah minggu diberikan terlambat. Ini berdasarkan wawancara wartawan dengan 13 pimpinan gereja, dihadapan Nelson Sembiring SH dan Heriansyah SH, diketahui dana bantuan sosial itu dicairkan di tahun 2008. Bahkan ada yang menerima akhir Januari 2009, juga yang menerima tanggal 9 Pebruari 2009.
Mengenai keterlambatan pencairan, Heriansyah SH mengatakan di APBD 2008, tercantum 228 guru sekolah minggu. Namun jumlah ini bertambah sampai 600 orang lebih. Ini disebabkan beberapa gereja lainnya, menyodorkan nama-nama guru sekolah minggu
“Akibat jumlah bertambah, maka pencairan dana bantuan sosial untuk guru sekolah minggu terlambat. Sebab, pemerintah berupaya mencari solusinya lebih dahulu,” sebutnya.(jansen)




Sejumlah Rekanan Menolak Menerima Pembayaran Proyek 2008 di Siantar

Ada Pemotongan Sebesar 30 Persen dari Nilai Kontrak

SIANTAR-SK: Pelaksanaan proyek tahun 2008 di Kota Pematangsiantar kembali bermasalah, dimana sebelumnya ada indikasi dugaan pengerjaan yang belum selesai sampai 2009. Kali ini rekanan (kontraktor) yang mendapat jatah proyek drainase, dan jalan menolak menerima pembayaran biaya pengerjaan dari Pemko Pematangsiantar.
Salah seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya, Selasa (3/3) mengatakan, hal ini disebabkan biaya yang diterima hanya sebesar 70 persen dari jumlah keseluruhan nilai proyek tersebut. Diduga rekanan menolak, karena pada saat kontrak kerja sesuai dengan tender, dan Surat Perintah Penunjukkan Langsung sudah dilakukan pemotongan 30 persen. Ini dilakukan dengan alasan untuk ‘uang muka’ bagi rekanan dalam melakukan pengerjaan proyek. Dimana dana potongan 30 persen akan dikembalikan setelah pengerjaan selesai dilaksanakan. Diperkirakan ada sekitar Rp 5 Miliar dana yang dipotong, di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Pematangsiantar.
Sumber tersebut menambahkan rekanan terkejut saat menerima pembayaran, karena dana sebesar 30 persen tidak masuk ke rekening masing-masing. Dikatakannya adanya penolakan ini, diduga menyebabkan rekening rekanan di Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU) Cabang Pematangsiantar diblokir.
Rekanan lainnya, membenarkan adaya pemblokiran rekening tersebut. Namun dia menilai ini dilakukan terhadap rekanan yang belum selesai melaksanakan pengerjaannya sampai saat ini. Mengenai adanya informasi pemotongan nilai proyek, dia mengatakan kurang mengetahui hal tersebut. Dia juga mengakui saat ini dirinya sedang melakukan pemberesan berkas terhadap proyek yang dikerjakannya.
Ditempat terpisah, Ketua Komisi III DPRD Pematangsiantar, Mangatas Silalahi, SE saat dimintai tanggapannya menilai adanya isu pemotongan dana proyek sudah terjadi sejak tahun 2006 yang lalu. Disebutkannya ini melanggar Keputusan Presiden (Keppers) Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Barang dan Jasa, dimana dalam satu pasalnya menyebutkan, tidak dibenarkan adanya pemotongan biaya proyek.
Disisi lain, dia juga heran atas sikap dari rekanan, yang ‘diam’ dan tidak berani bicara selama ini. Menurutnya jika rekanan harus sampai menggadaikan harta miliknya untuk mendapatkan proyek dimaksud, maka dalam pelaksanaan pekerjaan akan diragukan.
“Walikota sebagai pembina bidang usaha di Siantar, dengan adanya dugaan pemotongan ini telah ‘membinasakan’ para rekanan,” ujarnya.
Mangatas mengatakan, reknanan harus berani bicara, dan jangan takut jika tidak mendapatkan jatah proyek. Ketua Fraksi PDI-P Kebangsaan tersebut menambahkan jika diperinci nilai sebuah proyek Rp 100 juta, dipotong 30 persen maka akan tinggal Rp 70 juta. Dikatakannya bila rekanan mendapatkan untung Rp 10 juta, dikurangi biaya administrasi, dan sebagainya sebesar Rp 5 juta, maka sisa dana sebesar Rp 55 juta untuk pengerjaan proyek.
“Wajar jika melihat hal ini, kualitas proyek rendah, dan tidak tertutup kemungkinan akan dijadikan agenda tahunan,” jelasnya.
Lanjutnya, jangan sampai anggaran yang berasal dari Dana Alokasi Umum (Dau), Dana Alokasi Khusus (DAK) akan menguap jika tidak ada dilakukan pengerjaan. Dia juga menduga pemotongan dana proyek ini kemungkinan terjadi dibeberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Menurutnya isu pemotongan ini ibarat bom waktu, dan menyarankan rekanan transparan. Dia juga berjanji akan membela yang benar, jika rekanan terbuka atas adanya pemotongan tersebut.
“30 persen itu merupakan milik rekanan, dam tidak ada hak bagi walikota untuk melakukan pemotongan,” tegasnya. (jansen)



Penerapan PP No 41 Tahun 2007 di Pematangsiantar Melalui Perwa

Dana Tunjangan Fungsional Terancam Tidak Dibayarkan

SIANTAR-SK: Kebijakan Walikota Pematangsiantar, RE Siahaan yang mengangkat dan melantik pejabat eselon II, III, dan IV dalam penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah melalui Peraturan Walikota (Perwa), menyebabkan tunjangan fungsional sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) terancam tidak dibayarkan.
Hal ini disampaikan salah seorang pejabat Pemko, yang meminta agar identitasnya dirahasiakan kepada Sinar Keadilan, Senin (2/3). Sumber tersebut menuturkan pasca penetapan PP Nomor 41 Tahun 2007, menyebabkan para pejabat tidak mendapatkan tunjangan, meskipun sampai saat ini masih aktif berkerja di bagiannya masing-masing.
Sedangkan penyebab tidak dibayarkannya tunjangan tersebut, menurutnya ada dugaan karena tidak adanya Perwa yang mengatur mengenai pembayaran dana dimaksud.
Disebutkan, dana tersebut rutin diterima, dimana untuk pejabat eselon II sebesar Rp 1,5 juta, eselon III menerima Rp 900 ribu, dan eselon IV Rp 500 ribu setiap bulannya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Pemko Pematangsiantar, Drs James Lumba Gaol yang coba dikonfimasi melalui layanan Short Message Service (SMS) mengenai tidak dibayarkannya tunjangan tersebut, belum ada memberikan jawaban sampai berita ini diterbitkan.
Ditempat terpisah Anggota DPRD Siantar, Drs Aroni Zendrato mengatakan, pembayaran dana tunjangan rutin dibayarkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Selain itu ada Undang-Undang (UU) Keuangan, jika pejabat yang mempunyai posisi jabatan, maka tunjangan fungsional wajib dibayarkan, sampai batas dilantik,” ujarnya.
Aroni menambahkan untuk pembayaran tunjangan ditentukan besar jumlahnya melalui pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dimana setelah ditetapkan melalui Perda yang mengatur adanya pembayaran tunjangan fungsional dimaksud.(jansen)